GRAFIK PERGERAKAN HARGA DINAR

Kamis, 26 November 2009


PDFPrintE-mail

WAKTUNYA DINAR MENDORONG INVESTASI SEKTOR RIIL YANG ADIL ...
Written by Muhaimin Iqbal
Wednesday, 25 November 2009 07:20
Gerai Dinar Role

Banyak orang beranggapan bahwa Dinar atau emas adalah bukan alat investasi; alasannya adalah membeli Dinar atau emas tidak membuat Dinar atau emas tersebut bisa tumbuh atau bertambah dengan sendirinya.

Pendapat ini benar adanya bila sudut pandang atau satuan (unit of account) yang kita pakai adalah Dinar atau emas itu sendiri. Kalau saya membeli 1 Dinar dan saya simpan saja - Dinar ini tetap satu Dinar sampai kapan-pun, maka dengan hitungan Dinar - dia bukan investasi.

Sebaliknya bila satuan yang kita pakai adalah Rupiah atau mata uang kertas lainnya; 1 Dinar yang saya beli akhir 2006 harganya hanya Rp 750,000,- ; sekarang harganya telah mencapai Rp 1,5 juta. Maka dengan satuan Rupiah, bagaimana mungkin nilai yang tumbuh seratus persen dalam 3 tahun tersebut tidak bisa dikatakan sebagai investasi ?. Lha wong deposito yang tumbuh seperlimanya dari Dinar ini saja dalam tiga tahun terakhir sudah bisa dikatakan sebagai instrumen investasi kok ?.

Meskipun dengan satuan Rupiah kenaikan nilai Dinar begitu tinggi dalam beberapa tahun terakhir ; bukan ini tujuan utama pengadaan Dinar di masyarakat. Dinar bukan hanya untuk disimpan, tetapi Dinar harus dapat menggerakkan sektor riil yang sesungguhnya. Bagaimana hal ini bisa terjadi ?, perhatikan grafik diatas untuk solusinya.

Bila Anda ingin memodali saudara Anda untuk usaha dalam waktu yang lama, dapatkah Anda lakukan dengan Adil menggunakan uang kertas Rupiah misalnya ?.

Coba Anda pinjami saudara Anda Rp 1 Milyar untuk modal usaha dan Anda minta dikembalikan tiga tahun lagi. Berapa pengembalian yang Anda minta ?; kalau Anda minta tetap Rp 1 Milyar, maka Anda yang rugi – karena nilai uang Rp 1 milyar tersebut dalam tiga tahun telah banyak sekali menyusut. Sebaliknya bila Anda minta dikembalikan dengan nilai tambahan tertentu dalam tiga tahun – agar Anda tidak rugi, maka ini namanya Riba.

Lantas beberapa lembaga keuangan syariah tidak menggunakan aqad pinjaman atau Qard, tetapi bagi hasil (Mudharabah) atau jual beli dengan margin (Murabahah) untuk menghindari situasi tersebut diatas.

Dengan menggunakan aqad Mudharabah misalnya Anda sekarang memodali usaha saudara Anda tersebut Rp 1 Milyar. Tahun berikutnya uang ini telah menjadi Rp 1.2 Milyar – wah hebat untung 20% dalam setahun !; tapi nanti dahulu….; setelah bagi hasil 50/50 ; maka Anda dapat hasil bersih Rp 100 juta dan saudara Anda mendapatkan Rp 100 juta pula. Sudah adilkah ?. kalau dilihat dari angka Rupiahnya nampaknya adil, tetapi coba dilihat dari daya belinya. Inflasi tahun lalu adalah 11.8% ; jadi meskipun uang Anda kini menjadi Rp 1.1 Milyar – daya belinya lebih rendah dari uang Anda semula Rp 1 milyar tahun lalu – jadi Mudharabah dengan satuan Rupiah ini-pun berpotensi untuk tidak adil satu sama lain.

Nah bagaimana agar Muamalah Anda dengan saudara Anda bisa adil ?; gunakan-lah Dinar atau Dirham sebagai satuan pencatatannya. Inilah yang dimaksudkan oleh Imam Ghazali dalam Ihya Ulmuddin – bahwa hanya emas dan perak-lah yang bisa menjadi timbangan atau hakim yang adil dalam muamalah.

Jadi baik Aqad pinjaman (Qard) maupun bagi hasil (Qirad/Mudharabah ) insyallah akan selalu bisa berjalan dengan adil dengan menggunakan satuan pencatatan Dinar ini.

Lantas bagaimana carannya agar Dinar yang digunakan dalam aqad pinjam meminjam atau bagi hasil tersebut – dapat ditukar ke Rupiah untuk investasi sektor riil (membangun pabrik, membeli bahan baku, membeli barang dagangan dlsb.) yang saat ini baru mengenal Rupiah ?.

Ada dua mekanisme untuk ini yang saat ini sudah dapat dilakukan dengan baik di negeri ini; pertama Anda dapat menukar Dinar Anda menjadi Rupiah di jaringan GeraiDinar – kemudian menggunakan Rupiah untuk transaksi Anda di sektor riil tersebut diatas. Pada saat Anda mau mengembalikan modal ke pemodal pada akhir masa aqad – Anda dapat menukar kembali Rupiah hasil usaha Anda dengan Dinar – untuk diserahkan ke pemodal dalam bentuk Dinar.

Atau cara kedua, Anda dapat menggadaikan Dinar dari pemodal ke pegadaian atau bank-bank syariah yang saat ini hampir semua punya program gadai emas. Uang dari gadai ini kemudian untuk membiayai transaksi sector riil Anda. Pada akhir masa aqad, Anda tebus Dinar yang Anda gadaikan dengan uang hasil usaha Anda di sector riil tersebut.

Cara pertama (menjual dan membeli kembali) lebih cocok pada saat harga emas relatif stabil; sebaliknya cara kedua (gadai) akan lebih aman pada saat harga emas bergejolak seperti saat ini.

Optimalisasinya bisa dihitung dengan relatif mudah berdasarkan margin jual beli, biaya gadai, statistik harga emas dan informasi-informasi lain yang terkait dengan usaha yang akan dibiayai dengan Dinar ini. Kalau ada instrumen yang adil, mengapa masih memilih yang tidak adil ?. Wa Allahu A'lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar