GRAFIK PERGERAKAN HARGA DINAR

Selasa, 16 November 2010

Menduga Masa Depan Harga Emas Dari Neraca Perdagangan...PDFPrintE-mail
Oleh Muhaimin Iqbal

Ketika krisis moneter melanda negeri ini tahun 1997/1998, ekonomi kita seperti luluh lantak. Pemutusan hubungan kerja meraja lela, banyak perusahaan yang harus tutup dan bahkan sampai kini Anda masih bisa menyaksikan korbannya berupa kota hantu di daerah Sentul. Suatu komplek yang semula direncanakan menjadi komplek perumahan mewah, semasa krisis moneter ditinggalkan pengembang dan calon pembelinya dengan menyisakan puing-puing bekas penjarahan. Namun obat yang begitu pahit bagi bangsa ini tersebut, ternyata menyembuhkan suatu penyakit kronis yang disebut defisit dalam neraca perdagangan.

Neraca Perdagangan RI 1980 - 2010 (s/d Juli 2010)

Neraca Perdagangan RI 1980 - 2010 (s/d Juli 2010)

Dari grafik di atas kita tahu bahwa selama belasan tahun sebelum krisis, Indonesia selalu mengalami defisit dalam neraca perdagangannya. Hanya setelah krisis moneter melanda, tiba-tiba kita menjadi surplus hingga kini. Lho kok bisa ?. Apakah industri kita lebih efisien sehingga lebih mampu bersaing dengan pasar global ?, apakah kita ada inovasi teknologi baru ?, produk ekspor unggulan baru ?, pasar tujuan ekspor baru ?. Tidak juga demikian !.

Kita menjadi tiba-tiba mampu bersaing karena nilai uang kita menjadi sangat rendah bila dibandingkan dengan rata-rata nilai daya beli uang negara-negara lain. Bila gaji buruh, pegawai dan bahkan direksi tiba-tiba nilainya tinggal seperempatnya karena nilai mata uang kita yang jatuh (1998); demikian pula dengan ongkos kandungan local dari industri-industri kita – pastilah produk-produk ekspor kita menjadi sangat kompetitif dari sisi harga.

Dari pengalaman Indonesia men-terapi penyakit kronisnya tersebut; kita tahu bahwa secara efektif kita bisa sembuh dari penyakit kronis defisit neraca perdagangan melalui kejatuhan nilai mata uang Rupiah kita.

Nah apa hubungannya neraca perdagangan ini dengan harga emas dunia ?. Karena harga emas dunia saat ini dinilai dengan US$, maka kita bisa menduga nasib harga emas dunia tersebut dari apa yang kiranya akan terjadi dengan daya beli US$ itu sendiri. Sekarang perhatikan grafik dibawah yang menunjukkan neraca perdagangan Amerika selama 30 tahun terakhir.

Neraca Perdagangan AS 1980-2010 (s/d Agustus 2010)

Neraca Perdagangan AS 1980-2010 (s/d Agustus 2010)

Mirip Indonesia sebelum krisis 1997/1998 ; Amerika ternyata juga telah menderita penyakit kronis defisit neraca perdagangan selama belasan tahun hingga kini. Penyakit kronis inilah yang dengan setengah mati diupayakan oleh Obama antara lain melalui kunjungannya keIndia dan Indonesia kemarin ini.

Sebagai ‘salesman’ yang berhasil memukau publik negara-negara yang dikunjunginya, bisa saja kunjungan-kunjungan tersebut akan meningkatkan ekspor Amerika ke negara-negara yang telah dikunjunginya. Namun peningkatan ini akan sulit sekali menyembuhkan penyakit kronis yang sudah menahun.

Lantas apa solusi yang efektif yang harus ditempuh Amerika ?, karena presidennya pernah belajar di Indonesia selama 4 tahun semasa kecil – harusnya Amerika kali ini juga mau belajar dari pengalaman Indonesia mengatasai penyakit yang sama sebelum 1997/1998 – bahwa terapi yang paling efektif untuk seketika membalik posisi defisit menjadi surplus adalah melalui devaluasi besar-besaran atau kehancuran daya beli mata uangnya !.

Hal ini bisa dilakukan secara malu-malu dan memberi nama yang indah – Quantitative Easing – misalnya, atau secara terang-terangan seperti Indonesia tahun 1997/1998 yang disebut krisis moneter. Cara pertama bisa menyembuhkan tetapi perlu waktu yang lebih lama, cara kedua akan menyakitkan tetapi ini terapi yang terbukti sangat efektif – paling tidak pernah dibuktikan di Indonesia !.

Mana-pun yang dipilih Amerika, tidak ada insentif apapun bagi mereka untuk menaikkan daya beli atau nilai tukar mata uangnya. Bila nilai tukar mata uang mereka naik – mereka akan semakin tidak kompetitif – yang berarti akan semakin membesarkan defisit neraca perdagangannya. Defisit neraca perdagangan yang terus menerus akan membawa kebangkrutan negara karena mereka terus mengkonsumsi barang dan jasa dari luar lebih banyak daripada yang mereka bisa jual keluar.

Jadi secara perlahan-lahan ataupun secara drastis, siapapun presidennya - Amerika akan cenderung membawa nilai tukar mata uangnya ke arah turun. Barang-barang yang dibeli dengan mata uang US$ dalam jangka panjangnya akan terus naik, meskipun perjalanan jangka pendeknya bisa saja bergelombang.

Maka ini pula yang akan terjadi dengan harga emas dunia, bergelombang dalam jangka pendek – tetapi arah jangka panjangnya sangat jelas. Wa Allahu A’lam.


Ketika US$ Jatuh, Apa Yang Terjadi Dengan Rupiah dan Harga Emas...?PDFPrintE-mail
Oleh Muhaimin Iqbal

Akhir September lalu ketika harga emas dunia mendekati angka psikologis US$ 1,300/Oz saya menulis tentang “Harga Emas : Tinggi Tetapi Tidak Ketinggian...”. Kini satu setengah bulan kemudian harga emas dunia terus melambung, jauh melewati angka psikologis US$ 1,300/Oz tersebut dan bisa jadi sedang menuju angka psikologis berikutnya. Mengapa seolah harga emas dunia ini begitu predictable ?, selain karena statistiknya begitu nyata, perilaku manusia-manusia yang mengendalikan daya beli US$ ini begitu mudah dibaca.

Jauh hari sebelum Quantitative Easing tahap 2 benar-benar diputuskan pekan lalu misalnya, pasar sudah menduganya – bahkan sampai ke angkanya yang hanya meleset sedikit (pasar menduga di kisaran US$ 500 Milyar, yang diputuskan US$ 600 Milyar ). Jadi gejala jatuhnya daya beli US$ ini sebenarnya adalah terang benderang seterang siang hari, apalagi apabila dilihat dari kaca mata Qur’ani yang memang sudah menjanjikan akan dimusnahkannya Riba (QS 2 : 176).

Lantas bila jatuhnya daya beli US$ begitu nyata, apakah kita bisa melihat jatuhnya daya beli Rupiah ?. Tidak semua orang mungkin bisa melihat bahwa daya beli Rupiah juga sedang jatuh. Ini adalah karena adanya bias alat ukur, yaitu bila Rupiah diukur dengan US$ - maka nilai tukar Rupiah yang saat ini (08/11/2010) berada di kisaran Rp 8,900/US$ - kelihatan Rupiah seolah lagi perkasa. Mobil yang lagi berjalan mundur akan kelihatan berjalan maju, bila dilihat dari mobil lain yang berjalan mundur lebih cepat.

Kita hanya bisa tahu bahwa daya beli Rupiah juga lagi jatuh ketika kita pakai Rupiah tersebut untuk membeli kebutuhan riil sehari-hari yang terus bertambah mahal. Lebih kentara lagi bila digunakan untuk membeli barang-barang yang memiliki nilai baku sepanjang zaman seperti emas atau Dinar. Grafik dibawah adalah ilustrasinya.

IDRX, USDX and GoldPrice

IDXR, USDX and GoldPrice

Grafik US$ Index adalah bila US$ dibandingkan dengan sekelompok mata uang kuat dunia, begitu pula grafik Rupiah Index. Di latar belakang adalah trend kenaikan harga emas dunia pada periode yang sama, jelas sekali bukan ?. Grafik garis hijau (US$ Index) turun, grafik garis merah (Rupiah Index) juga turun – pada saat yang bersaman grafik bidang emas (harga emas dunia US$/Oz) terus naik.

Maka karena saya belum bisa melihat akan adanya titik balik dari trend-trend terkini tersebut diatas; saya tetap dengan pendapat saya satu setengah bulan yang lalu – bahwa meskipun harga emas atau Dinar kini sudah sangat tinggi – tetapi tetap juga belum ketinggian !. Bukan hanya karena kelangkaan dan peminat yang terus bertambah, tetapi juga karena didorong oleh nilai tukar uang yang digunakan untuk membelinya terus mengalami penurunan. Wa Allahu A’lam.