GRAFIK PERGERAKAN HARGA DINAR

Senin, 03 Agustus 2009



DINAR EMAS DI TENGAH ANCAMAN DEFLASI DAN TINGGINYA INFLASI
Written by Muhaimin Iqbal

relativeKetika krisis melanda Indonesia tahun 1998, saat itu saya adalah salah satu korbannya. Sebagai direksi di sebuah perusahaan publik, saya punya investasi di saham dan juga deposito. Deposito Rupiah yang saya kumpulin dari jerih payah bertahun-tahun nilainya terpangkas menjadi tinggal seperempatnya hanya dalam beberapa bulan krisis.

Investasi saham lebih buruk lagi, karena selain nilainya dalam Rupiah anjlog. Rupiahnya sendiri tinggal seperempat dari Rupiah sebelum krisis. Pukulan bertubi-tubi selama krisis ini menghanguskan sebagian besar dari investasi yang saya bangun sejak awal karir.

Alhamdulillah saya bersyukur dengan pertolongan Allah dimudahkan untuk memahami fenomena finansial yang ada di sekitar kita, sehingga ketika krisis ini berulang sepuluh tahun kemudian (2008) – saya tidak perlu menjadi korban lagi.

Sesungguhnya tidaklah sulit untuk memahami apa yang terjadi dengan system keuangan yang berbasis uang kertas ini, data-datanya tersebar di berbagai sumber yang dapat dipercaya. Grafik diatas misalnya, saya ambil dan olah datanya dari Pacific Exchange Services dan Kitco.

Apa yang bisa kita lihat dari grafik diatas sesungguhnya ?. Dari statistik yang ada – tataran ilmu manusia – menyatakan bahwa US Dollar pasti jatuh - karena sepuluh tahun terakhir sudah menukik tajam. Kalau diibaratkan pesawat terbang dengan ketinggian 100% (Januari 2000), saat ini ketinggian tersebut tinggal 32% saja.

Mata uang kertas lain tentu tidak jauh berbeda, apalagi Rupiah yang mempunyai kecenderungan lebih buruk dibandingkan US Dollar – saat ini ketinggiannya tinggal 21% saja dibandingkan dengan ketinggan Januari 2000 – lihat tulisan saya tanggal 24 Januari 2009 lalu untuk ini.

Dengan apa kita mengukur ini semua ?, dengan ‘uang riil ‘ yng memiliki daya beli tetap yaitu Emas atau Dinar (yang disebut Dinar adalah emas juga dengan berat 4.25 gr, kadar 22 karat). Kita hanya bisa mengetahui daya beli suatu mata uang naik atau turun apabila ada pembandingnya yang baku sepanjang zaman, salah satu pembanding baku inilah emas dan Dinar itu.

twenty centuryDalam sejarah mata uang kertas, ternyata mata uang kertas ini hanya mengalami kenaikan daya beli yang cukup berarti apabila ada depresi yang sangat parah. Sejarah US$ sepanjang abad lalu misalnya, hanya mengalami kenaikan daya beli yang berarti ketika terjadi the great depression 1930-an. Di Jaman zaman yang relatif normal, uang kertas terus mengalami penurunan nilai.

Lantas crash semacam apakah yang perlu kita antisipasi kedepan ?. Para analis berbeda pendapat dalam hal ini.

Bagi yang memperkirakan bahwa credit collapse di seluruh dunia akan berlanjut, maka ancaman deflasi yang perlu di waspadai. Dalam situasi deflasi, likwiditas adalah raja. Kita bisa saja kaya dengan asset riil, kalau likwiditas kita lemah – maka bisa jadi kita terjebak dalam kesulitan yang nyata.

Mengantisipasi deflasi dapat dilakukan dengan menjaga likwiditas kita, namun kalau kita menjaganya dengan likwiditas uang kertas – bila yang terjadi ternyata bukan deflasi tetapi inflasi – maka kita justru akan terjebak di problem berikutnya.

Bila yang terjadi adalah inflasi yang terlalu tinggi, atau perubahan dari tahapan deflasi ke inflasi yang terlalu cepat – maka likwiditas uang kertas kita bisa mendadak kehilangan nilainya.

Jadi apa solusi kita ?. Dinar atau Emas jawabannya.

Dinar atau emas adalah asset riil yang selalu mudah untuk dijual menjadi cash di masa deflasi sekalipun; dan tidak perlu mengalami penurunan nilai /daya beli di kala inflasi tidak terkendali.

Keunggulan emas ini bahkan juga diakui oleh para praktisi investasi dunia seperti pernyataan Morgan Stanley yang disiarkan CNBC dua hari lalu : "Gold looks to be the investment area that provides significant upside under the inflation-rebound scenario and relative resilience in the deflation scenario, gold should be one of the best hedges for investors".

Jadi siap menghadapi financial crash landing berikutnya ? siapkan Dinar sebagai parasut dan pelampung Anda. Wallahu A’lam.

Rupiah dan Dollar dari Kacamata Dinar
Written by Muhaimin Iqbal

Rupiah

Pagi ini ketika saya melihat nilai tukar US$ di situs ini yang menunjukkan angka Rp 12,275 saya sempat kaget kok cepat amat memburuknya Rupiah. Kemudian saya lihat di situs BI, pada saat yang sama menunjukkan kurs tengah masih pada Rp 11,980 – agak lega saya.

Tapi kemudian saya cari lagi pembanding di BCA jual Rp 12,300 dan beli Rp 11,800; selisih jual beli yang sekitar 4% - mirip dengan selisih jual beli Dinar di GeraiDinar.Com – lagi-lagi membuat saya lega.

Masih juga saya penasaran, saya lihat di Yahoo Finance - ternyata rate GeraiDinar yang memang lebih up to date yaitu Rupiah berada pada angka Rp 12,275 per US$ di pasar internasional semalam.

Maka inilah realita itu, bahwa Agustus tahun lalu nilai Rupiah berada di kisaran Rp 9,200/US$ dan kini berada pada Rp 12,275/US$ - uang kita telah mengalami penurunan nilai sekitar 33% dalam 6 bulan terakhir !.

Padahal kalau uang tersebut kita tabung di bank, dalam 6 bulan bagi hasil yang kita terima hanya antara 3% – 4% saja; jadi tabungan kita di bank masih kehilangan daya beli sekitar 30% dalam 6 bulan terakhir.

Lantas salah siapa ini ?, kita sudah bekerja keras, menabung sebagian hasil kerja keras kita di bank dengan harapan cukup untuk biaya masa depan anak-anak dan hari tua kita – kok kehilangan daya beli 30 % begitu saja hanya dalam 6 bulan ?.

Kita tidak perlu menyalahkan siapa-siapa dalam hal ini, tetapi barangkali memang kita sendiri yang tidak cepat bereaksi dengan fenomena uang kertas yang nilainya relatif dan manipulatif ini. Kita juga sangat mudah lupa dengan pelajaran yang berulang kali sampai ke kita.

Dollar

Sepuluh tahun lalu uang kita kehilangan nilai sekitar 75% dalam beberapa bulan tetapi kita tidak menjadikannya pelajaran; maka sekarang kita harus menanggung kehilangan lagi hampir separuh (33 %) dari kehilangan 10 tahun lalu tersebut.

Perlu diingat bahwa perbandingan angka-angka tersebut masih Rupiah dibandingkan dengan US Dollar – yang keduanya tidak bisa mencerminkan nilai daya beli yang baku.

Lebih buruk lagi kalau angka-angka tersebut kita bandingkan terhadap daya beli yang baku yaitu emas atau Dinar.

Dalam sepuluh tahun terakhir saja – bila diukur dengan Dinar – Rupiah telah kehilangan nilai daya belinya sebesar 83%, lihat grafik diatas. Dollar yang sering dianggap perkasa-pun tidak terlalu jauh berbeda, pada periode yang sama US$ kehilangan daya beli sebesar 71%.

Lantas bagaimana solusinya agar asset kita tidak rusak nilainya ditengah realita bahwa kita juga masih butuh uang kertas untuk alat tukar kita sehari-hari ?. Salah satu solusinya adalah lihat tulisan saya tentang Mengelola Uang Berdasarkan Fungsinya (05/12/08), mudah-mudahan bermanfaat. Amin.