GRAFIK PERGERAKAN HARGA DINAR

Minggu, 27 September 2009



BILA LEBAH TIDAK MENGHASILKAN CUKUP MADU...
Written by Muhaimin Iqbal

Lebah

Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah: "Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia".

Kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu). Dari perut lebah itu keluar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang memikirkan. (QS 16 : 68-69)

Alhamdulillah hari ini saya bisa mulai menulis lagi setelah sekitar dua minggu absen tidak menulis karena perjalanan i’tikaf. Dalam kesempatan menjalani ritual i’tikaf , makan-minum, tidur dan tentu beribadah di Masjidil Haram sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan yang baru lalu – banyak sekali kesempatan bisa saya pakai untuk membaca, merenungkan dan men –tadaburi- ayat-ayat Al-qur’an. Dari sumber segala ilmu inilah insyaallah saya akan siap menulis kembali untuk setahun kedepan, sampai tibanya waktu i’tikaf kembali…insyaallah.

Pertama saya akan menulis tentang dua ayat di surat An Nahl tersebut diatas. Dalam dua ayat ini sungguh terdapat pelajaran yang luar biasa sehingga Allah sendiri yang memerintahkan kita untuk memikirkannya.

Di ayat pertama lebah diperintahkan untuk membuat sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia. Ini mengisyaratkan bagi kita bahwa dari sisi lebahnya – perintah untuk bekerjasama dengan manusia ini sudah diberikan langsung oleh Allah kepadanya (lebah), tinggal bagaimana kita manusia menangkap peluang ini untuk menghasilkan sesuatu yang sangat berguna bagi kita.

Di ayat kedua, Allah ‘menitipkan’ pabrik obat bagi kesehatan kita di perut-perut lebah tersebut. Madu yang dihasilkan dari perut-perut lebah tersebut sejatinya juga diperlukan oleh masyarakat lebah sendiri sebagai sumber makanan mereka, namun mereka memproduksinya dengan sangat berlebih – jauh lebih banyak dari yang mereka butuhkan sendiri; kelebihan produksi inilah yang kemudian menjadi madu yang sangat banyak kasiyatnya bagi kesehatan kita semua bangsa manusia.

Kemampuan berproduksi lebih dari yang dibutuhkan masyarakat lebah inilah yang saya ingin tekankan sebagai pelajaran dalam tulisan ini. Bayangkan kalau lebah tidak memproduksi madunya secara lebih, dari mana bangsa manusia mendapatkan madu ?. Lebih lanjut bila mereka berproduksi kurang dari kebutuhan, bisa jadi masyarakat lebah akan saling berperang satu sama lain untuk memperebutkan madu. Atau satu masyarakat lebah demi untuk memenuhi kebutuhannya rela mengeksploitasi masyarakat lebah yang lain. Tetapi ini tidak terjadi di masyarakat lebah.

Mengapa sampai Allah memerintahkan kita untuk belajar dari lebah ini , sangat bisa jadi salah satunya adalah agar kita belajar ‘berproduksi lebih’ seperti yang dilakukan oleh masyarakat lebah ini. Bayangkan, lebah yang tidak memiliki otak yang sempurna seperti manusia saja – mereka bisa berproduksi lebih. Masya’ manusia yang diberi otak sehingga berilmu tinggi, mampu menciptakan berbagai teknologi tidak bisa berproduksi cukup untuk kebutuhannya sendiri ?.

Lihat-lah bangsa kita sebagai contohnya; kita masih harus mengimpor bahan-bahan makanan kita berupa 4.66 juta ton gandum senilai Rp 22.5 trilyun; 3.45 juta ton kedelai senilai Rp 5.95 trilyun ; 0.2 juta ton susu senilai Rp 7.55 trilyun ; daging sapi senilai Rp 4.8 trilyun; buah senilai Rp 3.38 trilyun dan bahkan juga impor garam senilai 0.9 trilyun.

Lihat apa yang kita import tersebut, semua sesungguhnya kita memiliki sumber dayanya untuk berproduksi secara cukup. Gandum mungkin memang tidak terlalu pas diproduksi ditanah-tanah kita, namun gandum kan dahulunya memang bukan makanan pokok kita ?, mengapa ujug-ujug jadi bahan makanan pokok yang harus kita impor ?.

Waktu kecil ibu saya di desa bisa membuat kue-kue dan segala macam makanan dari tepung yang sangat enak yaitu tepung yang dihasilkan dari umbi tanaman garut ( di daerah lain disebut arerut), yang dengan mudah dapat ditanam di kebon-kebon kita sendiri dan diolah secara tradisionil juga oleh kita sendiri. Mie sebagai menu makanan utama (bukan sebagai lauk !) baru kita kenal dua sampai tiga dasawarsa terakhir; lantas mengapa gandum (bahan dasar mie) tiba-tiba menjadi bahan pangan yang terbesar yang harus kita impor dari negara lain ?. Bukankah ini bentuk eksploitasi bangsa lain terhadap bangsa kita. Sampai-sampai mereka bisa mengubah menu utama di makanan kita ?.

Banyak hal yang salah di negeri ini sehingga kita tidak harus mengandalkan pemerintah untuk mengatasinya; sebagai warga negara kita bisa mulai dari diri kita memecahkan masyalah-masyalah yang kecil di lingkungan kita sehingga kita bisa ‘berproduksi lebih’ – mengikuti contoh lebah yang kita diminta untuk memikirkannya di ayat tersebut diatas.

Dari upaya untuk ‘memproduksi lebih’ inilah ide memproduktifkan lahan seperti yang sudah mulai saya tulis tahun lalu akan kita upayakan segera bisa dimulai; namun sebelum benar-benar kita mulai – ada masalah yang masih harus kita atasi lebih dahulu yaitu aspek pemasaran hasil-hasil pertanian yang juga masih sangat timpang di negeri ini.

Contohnya adalah ketika kita harus impor susu senilai Rp 7.5 trilyun lebih; kita masih membaca adanya peternak susu kita yang sampai membuang susunya kejalanan karena tidak bisa memasarkan hasil produksinya dengan harga yang wajar. Ketika anak-anak kita harus mengkonsumsi saus tomat yang konon bahannya ternyata bukan tomat (bisa ketela dlsb); sebagian petani-petani kita masih harus memilih tomat-tomatnya membusuk tidak di panen – karena kalau di panen harganya anjlog tidak mengejar ongkos produksinya.

Ini adalah sebagian saja dari contoh-contoh masalah produksi dan juga distribusi yang nampaknya kita memang harus belajar dari lebah. Di masyarakat lebah memang ada anggota masyarakatnya yang tidak berproduksi, yaitu lebah-lebah jantan yang tugasnya hanya satu sepanjang hidupnya – yaitu mengawini ratu lebah.

Jumlah lebah jantan ini hanya sekitar 15% saja dari lebah yang ada di koloni, tetapi bisa berarti ribuan lebah. Pada hari H – yaitu harinya ratu lebah muda siap kawin; ratu lebah yang sangat perkasa dibandingkan dengan lebah jantan sekalipun – terbang sekuat tenaga dan setinggi mungkin kelangit diikuti oleh ribuan lebah jantan yang mengejarnya.

Dari ribuan lebah jantan ini, hanya satu yang bisa mengejar ratu lebah dan mengawininya di udara. Karena keperkasaan sang ratu; lebah jantan yang sukses ini – akan mengalami nasib yang tragis yaitu mati dengan badan remuk berkeping-keping setelah mengawini sang ratu.

Akan halnya ribuan lebah jantan yang gagal mengawini ratu; dia menjadi lebah yang tidak berguna. Ketika mereka balik ke sarangpun akan ditolak oleh para lebah penjaga di gerbang sarang, keberadaan mereka sudah tidak dibutuhkan lagi. Ribuan lebah jantan ini akhirnya mati ngenes di pohon-pohon di luar sarang.

Akan halnya 85 % masyarakat lebah sisanya – yang terbesarnya adalah masyarakat lebah pekerja, mereka hidup tentram damai bersama ratu mereka. Mereka berproduksi lebih, sehingga bukan hanya memakmurkan sarang mereka – tetapi juga berproduksi lebih untuk bangsa manusia.

Jadi apa yang harus kita lakukan untuk memproduksi lebih ?, memperbanyak ‘lebah pekerja’ ini – bekerja dalam arti benar-benar berproduksi – bukan hanya sekedar bekerja dengan datang ke kantor dari pagi, menunggu waktu pulang sore hari – tetapi tidak menghasilkan apa-apa – yang terakhir ini lebih mirip lebah jantan yang gagal mengawini ratu dan bukan lebah pekerja.

Program Pesantren Wirausaha kami yang kelas perdananya akan kita mulai tanggal 10 Oktober 2009 bulan depan, insyallah ingin menghasilkan sebanyak mungkin ‘lebah-lebah pekerja’ yang akan menghasilkan ‘produksi lebih’ tersebut diatas. Insyaallah.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar